welcome

ENJOY

Kamis, 03 November 2011

AKTUALISASI KEJUANGAN DITINJAU DARI SEGI PENDIDIKAN

Oleh : Drs. Marwoto, Pengawas SMA Dinas DIKPORA Kab. Kudus

Pengantar
Telah kita ketahui bersama bahwa masa depan bangsa berada di tangan generasi muda khususnya pelajar. Mereka adalah harapan kita. Generasi bintang. Sudah sepantasnya energi dan perhatian kita curahkan kepada pelajar demi terwujudnya masa depan bangsa yang memiliki ketahanan nasional yang tangguh. Jangan berharap terlalu besar untuk menumbuhkan nasionalisme dari generasi tua. Namun adalah sebuah kewajiban yang
Universal, dimana generasi yang lebih tua agar mewariskan –tidak hanya pengetahuan
tentang tonggak sejarah atas kejadian yang terjadi di masa lalu- namun juga terutama
semangat patriotisme yang berpengaruh atas perjalanan hidup dalam berbangsa dan
Bernegara. Semangat yang ada sejak jaman dahulu kala yaitu, mencintai dan menjunjung
tinggi nilai kemanusiaan, meskipun dia harus berkorban untuk mencintai negaranya yang berfalsafah kejujuran dan Ketuhanan, memiliki arti penting bagi persatuan, serta bagi kerakyatan dan keadilan sosial Negara Kesatuan Republik Indonesia. Inilah yang terkandung dalam nilai-nilai dasar Negara kita yaitu Pancasila.

Ancaman dan hambatan untuk pelajar menumbuhkembangkan rasa cinta tanah air adalah lingkungan dan globalisasi. Dan jangan lupa mereka adalah “Digital Native” – lahir dan besar di era digital. Mereka lahir di masa yang memanjakan fisik dan mobilitas seseorang di mana pelajaran mengenai tugas dan kewajibannya sebagai warga negara dapat menjadi sebuah hal yang membosankan.

Lantas bagaimana jalan keluarnya?

Marilah kita perhatikan dan cermati uraian berikut ini.

1. Pendidikan bela Negara.

Sudah banyak instansi mengadakan pendidikan semacam ini secara masal, misalnya :
Departemen Pendidikan Nasional bekerja sama dengan Kementerian Negara Pemuda
Dan Olahraga juga telah menyelenggarakan kegiatan pendidikan Kesadaran Bela
Negara Pemuda Tingkat Nasional 2008 di Taman Rekreasi Wiladatikta, Cibubur,
Jakarta Timur pada 11 – 22 Mei 2008.
Juga pada bulan Juli 2008 telah diadakan Forum Sosialisasi Bela Negara di Yogyakarta
Kegiatan ini dihadiri 300 pelajar SMA dan SMK se Kota Yogyakarta dan para maha
Siswa yang tinggal di Yogyakarta.

Pendidikan Bela Negara yang tepat tentunya menggunakan system pembelajaran
Constructive and active learning, yang berarti serangkaian aktivitas belajar dibuat
sehingga para peserta mampu secara otomatis mengetahui apa itu wawasan kejuangan,
kebangsaan dan nusantara tanpa diberi tahu oleh penyelenggara.
Bukankah kini outbond banyak digandrungi. Juga permainan pin ball, dan soft air gun.
Kegiatan yang memerlukan taktik dan sedikit adrenalin ini tentunya bisa menjadi
bagian dari Pendidikan Bela Negara. Ini bisa dijadikan sebagai daya tarik pelajar,
karena mereka dapat melatih fisik mereka sembari menikmati alam. Di kota, mana bisa
mereka menikmati?
Yang penting outcome pembelajaran harus sudah diset termasuk skill dan knowledge
yang diharapkan.

2. Cinta Tanah-Air, cermin karakter Bangsa.

Kecintaan kepada tanah air (NKRI) yang berdasar Pancasila dan UUD 1945 merupakan
landasan kejuangan, moral, dan etika setiap warga negara. Landasan kejuangan itu
merupakan sikap dan perilaku dari warga negara yang tampilannya (aktualisasinya)
adalah bela negara. Padahal kita tahu bahwa secara psikologis sikap dan perilaku itu
adalah fitur-fitur yang membentuk karakter. Dalam hubungan ke-Indonesia-an
(kebangsaan), maka cinta tanah air tersebut memberikan tampilan bagaimana karakter
Bangsa, yang memiliki muatan-muatan rasa, paham, dan semangat kejuangan :
Bahwa cinta tanah air tersebut antara lain wujudnya merupakan bela negara; atau
kewajiban dasar manusia; berarti juga kehormatan bagi setiap warga negara; atas dasar
kesadaran, tanggung jawab; rela berkorban dalam pengabdian kepada negara dan
bangsa. Kesadaran dari anak bangsa tersebut, bukanlah tiba-tiba, setidaknya diawali
pada tahun 1928, ketika para pemoeda dari pelosok nusantara berikrar, bersumpah
bersama yang menyatakan : Berbangsa Satu, bangsa Indonesia; Bertanah-Air Satu,
Tanah-Air Indonesia; Berbahasa Satu, Bahasa Indonesia. Ikrar tersebut (Sumpah
Pemuda) itulah yang merupakan salah satu embrio bagi terbentuknya persatuan dan
Kesatuan bangsa, yang kemudian pada tanggal 17 Agustus 1945 melahirkan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Setelah perjalanan selama 64 tahun Kemerdekaan, di era reformasi yang diselimuti
oleh derasnya arus demokrasi, tampaknya banyak diantara bangsa kita yang semakin
memudar rasa cintanya terhadap tanah-air, rasa persatuan dan kesatuannya, rasa
kepedulian dan kesetiakawanan sosialnya, serta menyimpang langkah-langkahnya
dari cita-cita kebangkitan nasional dan cita-cita kemerdekaan.

Hal-hal seperti itu dapat kita lihat dalam kenyataan di masyarakat. Ada yang suka
menjelek-jelekkan dan menjatuhkan nama bangsa dan negaranya di depan bangsa dan
negara lain. Ada yang memperkaya diri dan mementingkan diri sendiri tanpa
mempedulikan orang lain. Tidak hanya itu, dalam tampilan sehari-hari, konflik social,
konflik teritorial, terorisme, provokasi, kejahatan narkoba, kecenderungan krisis
kepercayaan, KKN, cybercrime, money laundring, illegal logging, perompakan,
pencurian ikan, kualitasnya cenderung meningkat, dan lain-lain.
Itu semua bisa terjadi antara lain karena ada tendensi bahwa seseorang tidak menyadari
bahkan tidak menghargai akan jasa Tanah-Air terhadap dirinya. Bila kita bersyukur
kepada Allah SWT dan cinta Tanah-Air, tentu kita sadar untuk merawat dan menjaga
jangan sampai Tanah-Air kita tercemar atau tergerogoti oleh tangan-tangan jahil.
Sepatutnya kita cintai Tanah-Air ini dengan menjaga kelestariannya.
Pudarnya rasa cinta terhadap Tanah-Air dan tanggung jawab terhadap negara dan
bangsa sendiri, juga mungkin disebabkan kurangnya kesadaran dan penghargaan atas
perjuangan para Pahlawan dan tidak menyadari betapa pahitnya hidup dalam
penjajahan dan nikmatnya hidup di alam Kemerdekaan. Bisa jadi seseorang tidak
menyadari hal itu oleh karena ia tidak pernah hidup di zaman penjajahan dan
penindasan kolonialisme. Akibatnya ia berbuat tidak bijaksana terhadap bangsa dan
negaranya sendiri. Disana sini kita mendengar orang mulai berani menjual pulau-pulau
kecil kepada orang asing, menjual aset-aset nasional demi kepentingan tertentu, atau
menukar budaya leluhur dengan budaya asing tanpa tolok ukur.

Kini saatnya kita mengajak anak bangsa untuk menyadari kembali akan nilai
Kemerdekaan. Orang yang menyadari pentingnya akan nilai kemerdekaan, tentu tidak
akan hidup seenaknya sendiri dan tidak akan mementingkan diri sendiri dan
sebaliknya kecintaannya akan semakin kuat.
Dengan kesadaran itu ia turut menjamin kelangsungan hidup Tanah-Airnya. Di waktu
lalu, mulai anak-anak sekolah, kita masih sering mendengar lagu-lagu perjuangan
seperti: Tanah Airku Indonesia, Negeri elok amat kucinta, Tanah tumpah darahku yang
mulia,.. dan seterusnya. Lagu-lagu seperti itu kini tinggal kenangan, paling-paling
tampil saat aubade pada upacara di istana. Untuk kepentingan pendidikan karakter
bangsa, moral dan cinta Tanah-Air sebaiknya terus diajarkan kepada anak-anak mulai
dari anak-anak TK sekalipun.

Maka sekalipun membangun pendidikan kewarga-negaraan, pendidikan harus mampu
membuat anak didik bermanfaat, bagi bangsa menjadikan setiap anak bangsa semakin
cinta terhadap Tanah-Air. Dan itulah karakter bangsa, sebab perbuatan yang
mengandung manfaat pasti baik dan benar, merupakan cirri-ciri orang berkarakter.

3. Pendidikan dan harapan Negara.

a.Cita-Cita Negara.
Esensi sebuah Negara pada dasarnya adalah sebuah konvensi sosial. Tak jauh beda
dengan organisasi kemasyarakatan, dimana individu-individu yang dulunya tercerai
berai kemudian menyatukan visi untuk mencapai tujuan bersama. Berangkat dari
kepentingan ini maka dibentuklah sebuah lembaga yang bernama “Negara” untuk
menjadi alat individu-individu mencapai kemakmuran, keadilan, dan kesejahteraan.

Kemakmuran, keadilan, dan kesejahteraan, adalah isu sentral yang secara kodrati telah
melekat dalam bingkai keinginan manusia. Para pendiri negara yakin bahwa, dengan
bersatunya individu dalam naungan institusi, maka kepentingan tersebut di atas akan
lebih mudah diwujudkan. Meskipun di tengah keyakinannya mereka sadar untuk
mewujudkan apa yang dicita-citakan itu masih membutuhkan kajian-kajian intensif
dengan pisau analisis yang kritis. Sebab pencapaian cita-cita negara bisa dikatakan
berada dalam kerangka evolutif.

Pemikiran tentang “Evolutif” kemudian melahirkan poin penting, bahwa perjalanan
ke depan harus di kawal oleh nilai-nilai ideal agar tidak keluar dari koridor
perencanaan semula. Pengawalan yang dimaksud adalah sebuah landasan normatif
yang kelak akan dijadikan acuan dalam menentukan gerak langkah atau sebagai patron
pergerakan. Landasan normatif ini kemudian dikenal dengan istilah “Konstitusi”

Di Indonesia misalnya, konstitusinya adalah UUD 1945. Aturan ini berada di atas
puncak menara hierarki dari segala aturan yang berlaku. Maksudnya, segala Undang-
undang yang lahir kemudian tidak boleh bertentangan dengan isi UUD 1945.

Lahirnya konstitusi merupakan langkah awal dalam menapak pencapaian cita-cita
kolektif individu dalam negara. Pada fase ini adalah dimulainya perjuangan
mempertahankan idealisme kebangsaan.

b.Hubungan Negara dan Pendidikan.
Kajian kenegaraan terus berlanjut, yang kemudian melahirkan kesepakatan baru bahwa
untuk mendukung keberlangsungan perjuangan individu untuk mewujudkan cita-cita,
diperlukan sebuah lembaga yang berfungsi sebagai wadah “Regenerasi” bangsa.

Tugas lembaga ini adalah untuk mencetak manusia-manusia yang layak mengemban
tugas kenegaraan. Kelayakan yang dimaksud adalah manusia dinamis yang mampu
bereksplorasi dengan dinamika zaman yang tentu saja sesuai dengan platform awal
pergerakan yaitu pencapaian cita-cita negara.

Lembaga regenerasi tersebut kemudian dibakukan menjadi lembaga pendidikan formal.
Dalam wadah ini difokuskan bagaimana menemukan formulasi yang tepat untuk
menciptakan individu seperti yang diharapkan. Akhirnya berbagai eksperimen
terejawantahkan daiam kerangka penemuan formulasi tadi. Seperti penempatan wilayah
pendidikan dalan naungan eksekutif, perombakan kurikulum, penciptaan UU Sisdiknas,
dan lain-lain.

Dengan lahirnya lembaga pendidikan formal diharapkan mampu meredakan ‘keresahan’
negara. Sebab nadi keberlangsungan sebuah Negara berada di atas pundak generasi
pelanjutnya.

Agar tidak melupakan titik kajian kita maka penulis mengingatkan bahwa diawal tulisan
tadi telah dijelaskan bahwa Negara adalah alat masyarakat untuk mencapai tujuan
bersama yaitu kemakmuran, keadilan, kesejahteraan. Tujuan ini kemudian diperkuat
dengan dituangkannya ke dalam konstitusi UUD 1945 pada alenia kedua yang berbunyi
“Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang
berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu
gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan
makmur”.

Pada kenyataannya muncul beberapa fenomena khususnya sikap atau perilaku negatif
dari sebagian peserta didik yang harus kita minimalisir atau ditanggulangi, misalnya :
tawuran, narkoba, miras ataupun sex pranikah. Jangan sampai kita melihat wajah
peserta didik kita dewasa ini sepertinya harapan Negara teralienasi ke dalam wilayah
marginal.
Peserta didik adalah ibarat data input yang akan diproses oleh pendidikan untuk digodog
menjadi manusia dinamis yang kelak diharapkan akan mengawal perjalanan Negara.
Hal ini menjadi tanggung jawab bersama dari Pemerintah, Sekolah (pendidik) dan
masyarakat.


Penutup

Pendidikan harus mampu menghadirkan generasi yang cinta tanah air dan berwawasan
Kejuangan untuk tetap menjaga keutuhan NKRI, dalam rangka mencapai tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam penbukaan UUD 1945. Untuk itu marilah kita tingkatkan tugas kewajiban kita masing-masing, khususnya bagi peserta didik agar lebih giat dalam mengikuti segala program-program pemerintah yang dilaksanakan di sekolah, lebih giat belajar dan berlatih dengan sungguh-sungguh, agar dapat meraih masa depan yang gemilang sesuai apa yang menjadi cita-cita peserta didik .

Di bawah pemerintahan baru dengan Presiden SBY dan Wakil Presiden Boediono, kita berharap, pembangunan cinta Tanah-Air, pembangunan bela Negara, pembangunan kewarganegaraan tetap dikedepankan, sebab semakin memudarnya cinta Tanah-Air dapat merupakan ancaman bagi eksistensi Negara bangsa Indonesia. Mencegah sebelum semua itu terjadi atau menjadi parah, hal itu merupakan kebutuhan dan keniscayaan. Bangsa kita terlahir dari perjuangan keras, dan menjadi bangsa yang mampu memenuhi janji-janjinya, ikrarnya, mengisi pembangunan, sebagai bukti dari cinta terhadap Tanah-Air Indonesia. Semoga.


(Disarikan dari beberapa sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar